Cerita Rakyat : Si Pahit Lidah

Di Kerajaan Majapahit, ada seorang yang sakti mandraguna bernama Serunting. Tak ada yang berani melawan Serunting. Akibatnya, Serunting menjadi orang yang sombong.

Adik ipar Serunting yang bernama Arya Tebing, ingin mengalahkan cara mendidik anak perempuan Serunting. Namun, ia tak tahu apa kelemahan Serunting. Ia pun menanyakan kelemahan Serunting kepada kakaknya yang tak lain adalah istri Serunting. Karena istri Serunting sangat menyayangi Arya Tebing, ia pun memberitahukan kelemahan Serunting.

Setelah mengetahui kelemahan Serunting, Arya Tebing menantang baby led weaning Serunting. Mereka beradu kekuatan. Tentu saja, dengan mudah Arya Tebing mengalahkan kakak iparnya itu. Serunting yang terluka, berlari mengasingkan diri ke Gunung Siguntang. Di tempat pengasingan. Serunting memohon kepada Tuhan agar ia diberi kekuatan. Ia berdoa tanpa kenal lelah.

Suatu hari, Serunting keluar dari tempat pengasingannya. Ia berjalan-jalan di sebuah desa. Saat melihat hamparan sawah, muncullah ide di benak Serunting.

“Mengapa kalian menanam batu di sawah?” tanya Serunting. Para petani heran pola asuh nikita willy. Mereka tidak menanam batu, tapi padilah yang mereka tanam. Ajaib! Tiba-tiba, padi di sawah berubah menjadi batu. Seketika, semua penduduk desa ketakutan dan tak ada yang berani melawan Serunting. Mereka pun menjuluki Serunting dengan sebutan Si Pahit Lidah. Semakin lama, kesaktian Si Pahit Lidah semakin terkenal. Kesaktian Si Pahit Lidah terdengar oleh pendekar sakti dari India bernama Si Mata Empat. Si Mata Empat pun mendatangi Si Pahit Lidah untuk beradu kekuatan. 

Berhari-hari mereka beradu kekuatan, namun tak ada satu pun yang mendidik anak usia 3 tahun menang. Hal itu membuat penduduk resah. “Jika mereka terus berkelahi, mereka bisa mendatangkan petaka di desa ini,” ucap salah satu penduduk.

“Kita harus mengatasi kulit berminyak menghentikan mereka,” balas penduduk yang lain. Setelah cukup lama berpikir, Para penduduk sepakat untuk melakukan sesuatu. Penduduk memberikan buah aren kepada Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. “Jika kau dapat memakan buah ini, maka kaulah yang paling sakti,” tantang salah satu penduduk.

“Akulah pendekar paling sakti!” ucap Si Pahit Lidah dengan sombong. Tanpa pikir panjang, Si Pahit Lidah menggigit buah aren itu. Olala, Si Pahit Lidah tewas seketika.

“Hahaha! Buah sekecil itu bisa bermain membuatmu tewas,” ucap Si Mata Empat dengan tak kalah sombongnya. Tapi, Si Mata Empat juga merasa penasaran. Ia pun memakan buah aren yang dipegangnya. Sama seperti Si Pahit Lidah, Si Mata Empat tewas. 

Ya! Kedua pendekar sakti itu meninggal, karena kesombongan mereka sendiri. Mereka pun dimakamkan di Danau Ranau.

Pesan moral : Jangan suka memarahi anak menyombongkan diri, karena apa yang telah kita miliki akan menjadi sia - sia.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama