Dongeng Pangeran Uruk

Pada suatu masa dahulu kala, di negeri Jawadwipa hiduplah seorang pangeran tampan bernama Uruk. Ia adalah anak satu-satunya dari raja Pangestu. Semenjak sang raja Pangestu memimpin negeri Jawadwipa, seluruh rakyat hidup makmur. Sandang pangan selalu tersedia. Hal ini karena Sang Raja adil dan bijaksana.

Akan tetapi, sejak Sang Putra cukup umur untuk menikah, Raja Pangestu hari-harinya diliputi gundah-gulana. Sang Raja gelisah karena perilaku pangeran Uruk yang sangat berbeda dengan dirinya. Ya pangeran bertabiat sombong, selain itu juga ia berwatak jahat terhadap para rakyatnya.

“Baginda....hamba perhatikan hari-hari ini diliputi rasa gelisah. Ada apa gerangan?” tanya perdana mentri suatu pagi di beranda kerajaan.

“Mmmh....bagaimana aku tidak gelisah, putraku satu-satunya pewaris kerajaan Jawadwipa ini berkelakuan sangat buruk. Rakyat sudah banyak mengadu tentang perilaku buruknya.....Mentri Bintoro kau ada saran terbaik untuk anakku ini?” setelah mengutarakan kegelisahannya, akhirnya Raja Pangetu bertanya balik.

“Mohon ampun....hamba hanyalah abdi paduka, rasanya tak pantas hamba bertindak senonoh... saran terbaik hanya ada pada Paduka sendiri. Namun kalau memang Paduka sangat butuh, saran hamba adalah....Putra Paduka hanya butuh tanggung jawab....” ucap perdana mentri seraya bersujud.

“Maksud Mentri, putraku harus menggantikan aku sebagai pemimpin kerajaan ini, begitu?” sambar Sang Raja tegas.

“Bu bu...kan...ampun beribu ampun..Maksud hamba Pangeran Uruk harus dinikahkan.”

“Hmm...akupun berpikiran begitu...akan tetapi maukah dia? Pribadi yang masih senangnya main-main..... akankah putraku mau?

“HAHAHA......aku dengar Ayahanda....!!!” tiba-tiba Pangeran Uruk datang membuka paksa gerbang tombak menyilang dua prajurit. “Ayahanda...!! langsung saja putra Ayahanda ini mau dinikahkan. Akan-Tetapi-Aku-Hanya-Ingin-Menikah-Dengan-Bidadari...!!” sumbar Pangeran Uruk seraya menepukkan tangan kanannya berkali-kali ke dada sendiri.

“LANCANG SEKALI MULUT ENGKAU...!!! hormati Ayahandamu...!! Jangan ulangi lagi perkataan tidak tahu adatmu itu...Sang Dewata jangan sampai mendengar ucapan tak sopanmu...!! Sang Raja berdiri dari singgasananya, muntab.

“HAHAHA....Biarrrr!!! Biar Sang Dewata tahu bahwa aku ini pantas beristrikan bidadari...hahaha” tantang Pangeran Uruk.

Setelah kejadian itu, gemparlah seluruh rakyat negeri Jawadwipa mendengar kabar bahwa Pangeran Uruk hanya mau menikah dengan bidadari. Semua orang tahu, termasuk para penghuni kerajan, bahwa dilarang menyebut nama bidadari. Boleh disebut namun hanya untuk acara penyembahan kepada Sang Dewata. Selain itu, tabu untuk diucapkan apalagi kalau dengan cara menantang sebagaimana yang dilakukan oleh Pangeran Uruk. Nantinya, Sang Dewata akan marah dan bencana pun akan datang.

Benar juga, menyusul kabar yang tersiar, bencana pun tidak lama kemudian pelan namun pasti datang. Sepanjang hari, tidak mengenal siang dan malam, hujan turun di negeri Jawadiwipa. Awalnya rakyat tak merasakan keanehan dengan datangnya hujan itu, namun sebab lamanya turun akhir orang-orang pun menghubungkan dengan kejadian yang dilanggar Pangeran Uruk. Kasak-kusuk pun menyebar di seluruh negeri bahwa hujan yang terus-menerus ini akibat ulah Pangeran sombong. Dinding istana akhirnya menjadi saksi bagaimana Sang Raja berduka.

“Putraku...kau tahu mengapa aku memanggilmu kesini?” tanya Raja Pangestu suatu haru di balai pertemuan.

“Ayahanda...!! jangan percaya berita bohong itu. Hujan terus-menerus ini hanya kebetulan belaka....” Uruk tak menjawab pertanyaan Sang Raja. Ia malah sibuk membela diri.

“Diaaaam...!!. Lihatlah di luar. Banjir sudah melanda di pelosok negeri ini. Banyak rakyat sudah menggungsi di tenda-tenda alun-alun. Kau masih saja berkelit...!!!” tuding Raja Pangestu. “Segeralah mohon ampun kepada Sang Dewata....”

“AYAHANDA.....”

“JGEEER...... JGEEER.... JGEEER.....” tiba-tiba bunyi menggelegar dari luar istana. Semua yang berada di balai pertemuan istana spontan merunduk kaget. Masing-masing lalu terdiam, hanya bunyi hujan deras yang terdengar.

“URUK....URUK....KELUARLAH URUK....” belum hilang kekagetan oleh bunyi petir tadi, tiba-tiba suara menggelegar datang. Semuanya saling bertanya dalam diam ‘suara siapa itu?’ Sang Rajalah yang akhir berinisiatif, ia melangkah keluar menyeret putranya lalu dibelakangnya bergerombol pembantu-pembantu raja.

Setibanya di balkon atas istana, mereka terperangah. Kini alun-alun depan istana telah berubah menjadi telaga besar. Tenda-tenda tempat penggungsian rakyat sudah tak kelihatan lagi.”URUK....LAMARANMU KUTERIMA....” gemuruh suara itu datang lagi. Mereka mencari sumber suara. “AKU DI SINI...!!!” mendongaklah mereka melihat langit.

“AKU SANG DEWATA....AKU SANG DEWATA MENERIMA PINANGANMU URUK....” merasa namanya dipanggil Uruk maju ke depan disusul Raja Pangestu. “JEMPUTLAH BIDADARI CALON ISTRIMU DI SINI...”

“Sang Dewa Aku Mau...Namun Bagaimana Hamba Menjemput Bidadarimu?” tanya Uruk bernada menantang.

“Jaga Mulutmu Urung” cegah Sang Raja.

“HAHAHAHA...BAGUS URUK....RAJA PANGESTU JANGAN KAU CEGAH KEINGINAN PUTRAMU, PERNIKAHAN PUTRAMU ADALAH SYARAT AGAR HUJAN YANG KUTURUNKAN INI BERHENTI...” Raja Pangestu tercengang, begitu pula Uruk mendengar suara Dewa. “SEKARANG BERDIRILAH PALING DEPAN, AKAN KUJEMPUT KAU...!!!”

Uruk menuruti perkataan Dewa, ia maju berpisah dari rombongan istana. “JGEEER......” tiba-tiba petir menyambar tubuh Uruk. Ajaibnya bersamaan dengan hilangnya kilat petir yang menyambar, hilang pula tubuh Uruk. Dan lebih ajaib lagi, hujan deras langsung berhenti tanpa bekas. Begitu pula dengan banjir yang melanda, seakan hilang ditelan bumi.

Begitulah dongeng Pangeran Uruk. Untuk mengenang cerita itu, sebagian orang Jawa akan meneriakkan kata ‘Uruk...Uruk...Uruk’ bila hujan akan datang. Menurut tutur tinular, kata ‘Uruk...Uruk...Uruk’ itu untuk mencegah banjir ketika hujan datang.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama