Dongeng Nusantara : Legenda Pulau Kapal, Bangka Belitung

 


Pulau Kapal merupakan salah satu pulau yang terletak di tengah luasnya Sungai Cerucuk, Bangka Belitung. Menurut masyarakat sekitar, Pulau Kapal memiliki cerita legenda yang mengandung pesan moral yang bagus jika diceritakan kepada sang buah hati.

Penasaran bagaimana kisahnya? Keep scrolling!

Legenda Pulau Kapal

Pada suatu hari, ayah Kulup pergi ke hutan untuk mencari rebung yang masih muda. Rebung itu rencananya akan dimakan oleh mereka. Tapi, ketika sedang menebang rebung, ia menemukan sebuah tongkat yang berada di tengah rumpun bambu. Pak Kulup, demikian ia biasa disapa, mengambil tongkat tersebut dan ingin membuangnya.

Sebelum niatnya terlaksana, ia memperhatikan tongkat itu dengan teliti. Ia menganggap bahwa tongkat tersebut bukanlah tongkat sembarangan. Karena penasaran, ia membersihkan tongkat tersebut. Benar saja, setelah kotoran yang menempel pada tongkat tersebut berhasil dibersihkan, terlihat kilauan intan permata, dan batu merah delima yang bertaburan di tongkat tersebut.

"Siapakah pemilik tongkat ini? Pasti ia merasa kehilangan," pikir Pak Kulup kebingungan . Di tengah kebingungan, Pak Kulup memutuskan untuk membawa pulang tongkat berharga tersebut.

Setibanya di rumah, Pak Kulup hanya melihat Kulup yang sedang tertidur karena kelelahan mendorong kereta. Sementara itu, istrinya sedang bekerja di rumah tetangganya. Dengan perasaan yang tidak menentu, Pak Kulup bergegas menyusul istrinya yang berada di rumah tetangga.

Setelah menjemput istrinya, dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Pak Kulup menceritakan kejadian yang dialaminya. Mendengar cerita tersebut, sang istripun merasa terkejut.

"Bagaimana mungkin ada tongkat sangat berharga berada di dalam hutan belukar?" pikir Ibu Kulup.

Tanpa terasa, akhirnya mereka sampai di rumah. Pak Kulup, istrinya, dan Kulup merundingkan benda temuan tersebut.

"Bagaimana kalau kita simpan saja tongkat ini? Siapa tahu ada orang yang merasa kehilangan dan mencarinya," usul Pak Kulup.

"Tapi, mau disimpan dimana tongkat berharga itu, Pak? Kita kan tidak punya lemari untuk menyimpannya. Jika diletakkan di luar, aku takut tongkat ini akan dicuri orang," risau istrinya.

"Bagaimana kalau kita jual saja tongkat berharga ini agar kita tidak repot menyimpannya?" usul Kulup.

Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya mereka sepakat untuk menjual tongkat temuan itu. Akhirnya, tongkat temuan itu pun dijual pada seorang saudagar kaya raya dengan harga yang cukup tinggi. Namun, Kulup tidak langsung pulang ke rumahnya, ia memilih tinggal di rantauan dan menjadi orang kaya raya.

Kehidupan Kulup berubah total. Kini Kulup berteman dengan para bangsawan dan saudagar kaya. Ia pun menikah dengan salah seorang anak saudagar terkaya di negeri itu. Akan tetapi, kehidupan yang serba mewah itu membuatnya lupa akan kampung halaman dan orangtuanya.

Bertahun-tahun sudah Kulup meninggalkan desanya, hingga suatu hari mertuanya menyuruh Kulup dan istrinya untuk berdagang ke negeri lain. Kulup pun membeli sebuah kapal besar dan mewah. Ia juga mempersiapkan anak buah untuk dibawanya pergi berlayar. Setelah mendapatkan restu dari mertuanya, berangkatlah Kulup beserta istri dan anak buahnya berlayar ke negeri lain.

Ketika tiba di muara Sungai Cecuruk, Kulup teringat akan kampung halamannya. Kapal itu kemudian berlabuh di Sungai Cecuruk. Suasana kapal sangat ramai oleh suara binatang untuk perbekalannya di jalan seperti ayam, itik, angsa, burung, dan binatang lainnya.

Berita kedatangan Kulup terdengar sampai di telinga orangtuanya. Betapa bahagianya mereka mendengar hat tersebut. Kerinduan mereka selama ini sebentar lagi akan terobati. Sang ibu pun sibuk menyiapkan makanan kesukaan Kulup.

Keesokan harinya, kedua orangtua Kulup pergi ke kapal untuk menemui Kulup dengan membawa makanan kesukaan Kulup. Kapal itu terlihat sangat mewah. Kedua orangtua Kulup tak sabar bertemu dengan anak tercintanya. Setiba di kapal, sang ibu berteriak-teriak memanggil Kulup. "Kulup anakku..., di mana kau? Ini ibu, Kulup!".

Mendengar suara ibunya, Kulup tampak bingung. Ia malu jika sampai orang lain mengetahui bahwa kedua orangtua yang berpakaian kumal dan tampak miskin itu adalah ayah dan ibu kandungnya.

"Siapa kalian? Cepat pergi dari kapalku!" teriak si Kulup.

"Kami adalah ayah dan ibumu, nak. Apa kau tidak mengenali kami lagi? Ibu juga sudah membawa makanan kesukaanmu," jawab ibu Kulup dengan sedih.

"Makanan apa ini? Aku tidak suka dengan makanan kampung seperti ini. Perlu kalian tahu, orangtuaku adalah seorang saudagar kaya. Bukan gembel seperti kalian," ucap Kulup sambil membuang makanan buatan ibunya.

Mendengar kata-kata kasar dari mulut anaknya, hancurlah hati kedua orangtua itu. Mereka merasa terhina. Harapan mereka untuk melepas rindu hanya tinggal harapan. Anak yang sangat dicintainya sudah berubah menjadi anak durhaka.

Setelah pergi meninggalkan kapal si Kulup, Ibu yang tidak dapat menahan amarahnya dengan emosi berkata, "Jika saudagar kaya itu memang benar anakku si Kulup, biarlah kapal ini karam bersamanya!"

Kedua orangtua Kulup kemudian kembali ke rumah dengan hati terluka, Tidak lama kemudian, setelah kepergian mereka tiba-tiba muncul badai besar dan gelombang laut yang sangat tinggi menerjang kapal si Kulup. Akhirnya, kapal besar itupun terombang-ambing dan terbalik. Semua penumpang tewas dalam kejadian itu.

Beberapa hari kemudian, di tempat karamnya kapal milik si Kulup, muncullah sebuah pulau yang bentuknya menyerupai sebuah kapal. Pada waktu-waktu tertentu, di pulau tersebut terdengar suara-suara binatang bawaan si Kulup yang berada di kapalnya. Sekarang, pulau itu diberi nama Pulau Kapal.

Tamat.

Pesan moral :

Janganlah durhaka kepada orang tua yang telah menjaga dan membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Durhaka hanya akan membawa bencana kepada pemiliknya.

Bagaimana bunda? Kisah ini tentu mengingatkan bunda dengan sebuah legenda yang berasal dari Sumatera Barat, Malin Kundang bukan?

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama